Loading...
Cerita ini diambil dari kitab Mukasyafatul Qulub karya Imam Al-Ghazali. Inti dari cerita ini adalah sebuah pelajaran bagi kita agar kita tidak hanya memperhatikan hubungan dengan Allah semata namun tidak memperhatikan (mengabaikan) hubungan dengan sesama manusia.
Alkisah ada ahli ibadah bernama Abu bin Hasyim yang kuat sekali tahajudnya. Hampir bertahun-tahun dia tidak pernah absen melakukan sholat tahajud.
Pada suatu ketika saat hendak mengambil wudhu untuk shalat tahajud, Abu Hasyim dikagetkan oleh keberadaan sosok makhluk yang duduk di bibir sumurnya.
Abu bertanya, “Wahai hamba Allah, siapakah Engkau?” Tanya Abu Hasyim.
Sambil tersenyum, sosok itu berkata; “Aku Malaikat utusan Allah” Abu Bin Hasym kaget sekaligus bangga karena kedatangan tamu malaikat mulia.
Dia lalu bertanya, “Apa yang sedang kamu lakukan di sini ?”
Malaikat itu menjawab, “Aku disuruh mencari hamba pencinta Allah”
Melihat Malaikat itu memegang kitab tebal, Abu lalu bertanya; “Wahai Malaikat, buku apakah yang kau bawa?”
Malaikat menjawab; “Ini adalah kumpulan nama hamba-hamba pencinta Allah.” Mendengar jawaban Malaikat, Abu bin Hasyim berharap dalam hati namanya ada disitu.
Maka ditanyalah Malaikat itu. “Wahai Malaikat, adakah namaku disitu?”
Abu berasumsi bahwa namanya ada di buku itu, mengingat amalan ibadahnya yang tidak kenal putusnya. Selalu mengerjakan sholat tahajud setiap malam, berdo’a dan bermunajat pada Allâh SWT di sepertiga malam. “Baiklah, aku buka,” kata Malaikat sambil membuka kitab besarnya.
Dan ternyata Malaikat itu tidak menemukan nama Abu di dalamnya. Tidak percaya, Abu bin Hasyim meminta Malaikat mencarinya sekali lagi. “Betul … namamu tidak ada di dalam buku ini !” kata Malaikat.
Abu bin Hasyim pun gemetar dan jatuh tersungkur di depan Malaikat. Dia menangis se-jadi-jadinya. “Rugi sekali diriku yang selalu tegak berdiri di setiap malam dalam tahajud dan bermunajat, tetapi namaku tidak masuk dalam golongan para hamba pecinta Allah,” ratapnya.
Melihat itu, Malaikat berkata, “Wahai Abu bin Hasyim ! Bukan aku tidak tahu engkau bangun setiap malam ketika yg lain tidur, mengambil air wudhu dan kedinginan pada saat orang lain terlelap dalam buaian malam. Tapi tanganku dilarang Allâh menulis namamu.” “Apakah gerangan yg menjadi penyebabnya ?” tanya Abu bin Hasyim.
“Engkau memang bermunajat kepada Allâh, tapi engkau pamerkan dengan rasa bangga ke mana-mana dan asyik beribadah memikirkan diri sendiri. Di kanan kirimu ada orang sakit atau lapar, tidak engkau tengok dan beri makan.
Bagaimana mungkin engkau dapat menjadi hamba pecinta Allah kalau engkau sendiri tidak pernah mencintai hamba-hambanya yang diciptakan Allâh ?” kata Malaikat itu.
Abu bin Hasyim seperti disambar petir di siang bolong. Dia tersadar hubungan ibadah manusia tdaklah hanya kepada Allâh semata (hablum minallâh), tetapi juga ke sesama manusia (hablum minannâs) dan alam.
Jangan bangga dengan banyak shalat, puasa dan dzikir karena itu semua belum tentu membuat Allah senang. Mau tahu apa yang membuat Allah senang?
Nabi Musa: Wahai Allah, aku sudah melaksanakan ibadah. Lalu manakah ibadahku yang membuat Engkau senang?
Allah: Sholat? Sholat mu itu untukmu sendiri, karena dengan mengerjakan sholat, engkau terpelihara dari perbuatan keji dan munkar.
Dzikir? Dzikirmu itu hanya untukmu sendiri, membuat hatimu menjadi tenang.
Puasa? Puasamu itu untukmu sendiri, melatih dirimu untuk memerangi hawa nafsumu sendiri.
Nabi Musa: Lalu apa yang membuat hatiMu senang Ya Allah?
Allah: Sedekah, Infaq, Zakat serta perbuatan baikmu.
“Itulah yang membuat Aku senang, karena tatkala engkau membahagiakan orang yang sedang susah, Aku hadir disampingnya. Dan Aku akan mengganti dengan ganjaran 700 kali” (Al-Baqarah 261-262)
Nah, bila kamu sibuk dengan ibadah ritual dan bangga akan itu, maka itu tandanya kamu hanya mencintai dirimu sendiri, bukan Allah.
Tapi, bila kau berbuat baik dan berkorban untuk orang lain, maka itu tandanya kau mencintai Allah dan tentu Allah senang karenanya.
Buatlah Allah senang maka Allah akan limpahkan rahmat-Nya dengan membuat hidupmu lapang dan bahagia.
Sumber: ngajionline.net
Alkisah ada ahli ibadah bernama Abu bin Hasyim yang kuat sekali tahajudnya. Hampir bertahun-tahun dia tidak pernah absen melakukan sholat tahajud.
Pada suatu ketika saat hendak mengambil wudhu untuk shalat tahajud, Abu Hasyim dikagetkan oleh keberadaan sosok makhluk yang duduk di bibir sumurnya.
Abu bertanya, “Wahai hamba Allah, siapakah Engkau?” Tanya Abu Hasyim.
Sambil tersenyum, sosok itu berkata; “Aku Malaikat utusan Allah” Abu Bin Hasym kaget sekaligus bangga karena kedatangan tamu malaikat mulia.
Dia lalu bertanya, “Apa yang sedang kamu lakukan di sini ?”
Malaikat itu menjawab, “Aku disuruh mencari hamba pencinta Allah”
Melihat Malaikat itu memegang kitab tebal, Abu lalu bertanya; “Wahai Malaikat, buku apakah yang kau bawa?”
Malaikat menjawab; “Ini adalah kumpulan nama hamba-hamba pencinta Allah.” Mendengar jawaban Malaikat, Abu bin Hasyim berharap dalam hati namanya ada disitu.
Maka ditanyalah Malaikat itu. “Wahai Malaikat, adakah namaku disitu?”
Abu berasumsi bahwa namanya ada di buku itu, mengingat amalan ibadahnya yang tidak kenal putusnya. Selalu mengerjakan sholat tahajud setiap malam, berdo’a dan bermunajat pada Allâh SWT di sepertiga malam. “Baiklah, aku buka,” kata Malaikat sambil membuka kitab besarnya.
Dan ternyata Malaikat itu tidak menemukan nama Abu di dalamnya. Tidak percaya, Abu bin Hasyim meminta Malaikat mencarinya sekali lagi. “Betul … namamu tidak ada di dalam buku ini !” kata Malaikat.
Abu bin Hasyim pun gemetar dan jatuh tersungkur di depan Malaikat. Dia menangis se-jadi-jadinya. “Rugi sekali diriku yang selalu tegak berdiri di setiap malam dalam tahajud dan bermunajat, tetapi namaku tidak masuk dalam golongan para hamba pecinta Allah,” ratapnya.
Melihat itu, Malaikat berkata, “Wahai Abu bin Hasyim ! Bukan aku tidak tahu engkau bangun setiap malam ketika yg lain tidur, mengambil air wudhu dan kedinginan pada saat orang lain terlelap dalam buaian malam. Tapi tanganku dilarang Allâh menulis namamu.” “Apakah gerangan yg menjadi penyebabnya ?” tanya Abu bin Hasyim.
“Engkau memang bermunajat kepada Allâh, tapi engkau pamerkan dengan rasa bangga ke mana-mana dan asyik beribadah memikirkan diri sendiri. Di kanan kirimu ada orang sakit atau lapar, tidak engkau tengok dan beri makan.
Bagaimana mungkin engkau dapat menjadi hamba pecinta Allah kalau engkau sendiri tidak pernah mencintai hamba-hambanya yang diciptakan Allâh ?” kata Malaikat itu.
Abu bin Hasyim seperti disambar petir di siang bolong. Dia tersadar hubungan ibadah manusia tdaklah hanya kepada Allâh semata (hablum minallâh), tetapi juga ke sesama manusia (hablum minannâs) dan alam.
Jangan bangga dengan banyak shalat, puasa dan dzikir karena itu semua belum tentu membuat Allah senang. Mau tahu apa yang membuat Allah senang?
Nabi Musa: Wahai Allah, aku sudah melaksanakan ibadah. Lalu manakah ibadahku yang membuat Engkau senang?
Allah: Sholat? Sholat mu itu untukmu sendiri, karena dengan mengerjakan sholat, engkau terpelihara dari perbuatan keji dan munkar.
Dzikir? Dzikirmu itu hanya untukmu sendiri, membuat hatimu menjadi tenang.
Puasa? Puasamu itu untukmu sendiri, melatih dirimu untuk memerangi hawa nafsumu sendiri.
Nabi Musa: Lalu apa yang membuat hatiMu senang Ya Allah?
Allah: Sedekah, Infaq, Zakat serta perbuatan baikmu.
“Itulah yang membuat Aku senang, karena tatkala engkau membahagiakan orang yang sedang susah, Aku hadir disampingnya. Dan Aku akan mengganti dengan ganjaran 700 kali” (Al-Baqarah 261-262)
Nah, bila kamu sibuk dengan ibadah ritual dan bangga akan itu, maka itu tandanya kamu hanya mencintai dirimu sendiri, bukan Allah.
Tapi, bila kau berbuat baik dan berkorban untuk orang lain, maka itu tandanya kau mencintai Allah dan tentu Allah senang karenanya.
Buatlah Allah senang maka Allah akan limpahkan rahmat-Nya dengan membuat hidupmu lapang dan bahagia.
Sumber: ngajionline.net
Loading...
Tag :
Informasi