Loading...
Kejujuran adalah kunci utama menuju kebahagiaan dalam kehidupan. Dengan berlaku jujur, kita mendapat keberkahan dan ridho dari Allah.
Lidah yang berkata jujur akan membawa kebaikan, dan setiap kebaikan membawa ke Surga. Seperti dalam hadis Rasulullah SAW, yang artinya,
“Dari Abdullah ibn Mas’ud, dari Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya jujur itu membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke surga.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Orang yang jujur akan mendapat cinta dari Allah. Jujur merupakan pebuatan yang tidak mudah. Jujur membutuhkan keteguhan hati, terkadang terasa berat, pahit, dan mengundang risiko.
Tetapi segala sesuatu yang diniatkan karena Allah tentu akan mendapat jaminan balasan yang terindah dari Allah pula yaitu berupa surga.
Tak hanya balasan terindah di akhirat. Allah SWT memberi balasan luar biasa di dunia bagi orang yang jujur, yaitu dengan dilimpahkan kebahagiaan yang menentramkan hati. Hal ini dibuktikan dari kisah Tsabit bin Ibrahim.
Dikisahkan, seorang Tsabit bin Ibrahim sedang berjalan di pinggiran kota Kufah (Iran). Ia melihat ada buah apel terjatuh dari pohonnya di jalan.
Karena cuaca yang sangat terik, ia memutuskan untuk mengambil apel tersebut lalu memakannya.
Setelah ia menghabiskan setengah buah apel, Tsabit teringat bahwa buah itu bukan miliknya.
Dengan segera ia pergi ke kebun apel untuk menemui pemiliknya dan meminta izin karena telah memakan buah apel itu.
Saat Tsabit bin Ibrahim ke kebun, ia tak bertemu dengan pemiliknya. Tetapi, ia bertemu dengan penjaga kebun.
Tsabit bertanya, “Di manakah rumah pemilik buah apel ini?”.
Penjaga kebun itu memberitahu bahwa rumah pemilik kebun tersebut cukup jauh, bahkan jika ditempuh dengan berjalan kaki akan menghabiskan waktu sehari semalam.
Namun demikian, Tsabit tetap bertekad pergi, walaupun rumah orang yang dimaksud cukup jauh. Yang penting, apel yang dia makan dihalalkan.
Setibanya di rumah pemilik buah apel, Tsabit melihat lelaki paruh baya lalu mengucap salam. Kemudian ia bertanya,
“Benarkah tuan pemilik kebun apel di pinggiran kota Kufah? Wahai tuan, tadi saya sudah terlanjur memakan setengah dari buah apel tuan yang jatuh dari pohonnya. Karena itu, maukah tuan menghalalkan apa yang sudah ku makan itu?”
Kemudian lelaki pemilik apel itu menjawab, ““Tidak, aku tidak bisa menghalalkannya kecuali dengan satu syarat.”. Tsabit pun tercengang dengan jawaban lelaki tersebut.
“Syarat apa yang harus saya penuhi?” tanya Tsabit.
Lelaki tersebut menjawab, “Syaratnya, engkau harus mau menikahi putriku.”
Singkat kata, Tsabit bin Ibrahim menerima syarat tersebut asalkan lelaki itu menghalalkan apel yang telah dimakannya.
Pemilik buah apel tersebut mengatakan bahwa putri yang akan dinikahkan dengan Tsabit memiliki kekurangan yaitu buta, tuli, lumpuh, dan bisu.
Setelah akad (nikah), Tsabit pun dipersilahkan masuk menemui istrinya. Sewaktu Tsabit hendak masuk kamar pengantin, dia berpikir akan tetap mengucapkan salam walaupun istrinya tuli dan bisu.
Tapi tak disangka, perempuan di hadapannya yang kini resmi menjadi istrinya tersebut menjawab salamnya dengan baik.
Ketika masuk hendak menghampiri istrinya, sekali lagi Tsabit terkejut karena perempuan yang kini menjadi istrinya itu menyambut uluran tangannya.
Tsabit sempat terhentak menyaksikan kenyataan tersebut. Dalam hati Tsabit bertany, katanya istrinya bisu dan buta tetapi kenapa ia dapat menyabutnya.
Perempuan yang kini menjadi istrinya menjelaskan, “Ayahku benar karena aku buta karena tidak pernah melihat segala sesuatu yang diharamkan oleh Allah. Aku tuli karena aku tidak pernah mau mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat rido Allah. Aku bisu karena dalam banyak hal aku hanya menggunakan lidahku untuk menyebut asma Allah. Aku juga dikatakan lumpuh, karena kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang penuh dengan maksiat.”
Mendengar ucapan istrinya, hati Tsabit bahagia tak terkira. Karena kejujurannya, ia dikarunia istri yang jelita lagi salehah.
Akhir cerita, Tsabit bin Ibrahim dikaruniai seorang putra shaleh yang kelak menjadi seorang ulama besar bernama Imam Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit.
Dia (Abu Hanifah) adalah seorang ulama atau imam yang berasal dari Kufah dan hidup pada abad ke-7 M. Sebagai ulama besar, ilmunya menyebar ke seluruh pelosok dunia.
Betapa nikmatnya anugerah dan karunia bagi orang yang jujur. Balasan terindah bukan hanya di dunia tetapi juga di akhirat, yaitu balasan yang Allah janjikan dan sangat diidam-idamkan seluruh umat ialah balasan Jannah.
Demikian sahabat muslim, semoga kita tergolong orang yang jujur yang kelak diistimewakan di surganya Allah.
Wallahua’lam.
Sumber: islami.coKejujuran adalah kunci utama menuju kebahagiaan dalam kehidupan. Dengan berlaku jujur, kita mendapat keberkahan dan ridho dari Allah.
Lidah yang berkata jujur akan membawa kebaikan, dan setiap kebaikan membawa ke Surga. Seperti dalam hadis Rasulullah SAW, yang artinya,
“Dari Abdullah ibn Mas’ud, dari Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya jujur itu membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke surga.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Orang yang jujur akan mendapat cinta dari Allah. Jujur merupakan pebuatan yang tidak mudah. Jujur membutuhkan keteguhan hati, terkadang terasa berat, pahit, dan mengundang risiko.
Tetapi segala sesuatu yang diniatkan karena Allah tentu akan mendapat jaminan balasan yang terindah dari Allah pula yaitu berupa surga.
Tak hanya balasan terindah di akhirat. Allah SWT memberi balasan luar biasa di dunia bagi orang yang jujur, yaitu dengan dilimpahkan kebahagiaan yang menentramkan hati. Hal ini dibuktikan dari kisah Tsabit bin Ibrahim.
Dikisahkan, seorang Tsabit bin Ibrahim sedang berjalan di pinggiran kota Kufah (Iran). Ia melihat ada buah apel terjatuh dari pohonnya di jalan.
Karena cuaca yang sangat terik, ia memutuskan untuk mengambil apel tersebut lalu memakannya.
Setelah ia menghabiskan setengah buah apel, Tsabit teringat bahwa buah itu bukan miliknya.
Dengan segera ia pergi ke kebun apel untuk menemui pemiliknya dan meminta izin karena telah memakan buah apel itu.
Saat Tsabit bin Ibrahim ke kebun, ia tak bertemu dengan pemiliknya. Tetapi, ia bertemu dengan penjaga kebun.
Tsabit bertanya, “Di manakah rumah pemilik buah apel ini?”.
Penjaga kebun itu memberitahu bahwa rumah pemilik kebun tersebut cukup jauh, bahkan jika ditempuh dengan berjalan kaki akan menghabiskan waktu sehari semalam.
Namun demikian, Tsabit tetap bertekad pergi, walaupun rumah orang yang dimaksud cukup jauh. Yang penting, apel yang dia makan dihalalkan.
Setibanya di rumah pemilik buah apel, Tsabit melihat lelaki paruh baya lalu mengucap salam. Kemudian ia bertanya,
“Benarkah tuan pemilik kebun apel di pinggiran kota Kufah? Wahai tuan, tadi saya sudah terlanjur memakan setengah dari buah apel tuan yang jatuh dari pohonnya. Karena itu, maukah tuan menghalalkan apa yang sudah ku makan itu?”
Kemudian lelaki pemilik apel itu menjawab, ““Tidak, aku tidak bisa menghalalkannya kecuali dengan satu syarat.”. Tsabit pun tercengang dengan jawaban lelaki tersebut.
“Syarat apa yang harus saya penuhi?” tanya Tsabit.
Lelaki tersebut menjawab, “Syaratnya, engkau harus mau menikahi putriku.”
Singkat kata, Tsabit bin Ibrahim menerima syarat tersebut asalkan lelaki itu menghalalkan apel yang telah dimakannya.
Pemilik buah apel tersebut mengatakan bahwa putri yang akan dinikahkan dengan Tsabit memiliki kekurangan yaitu buta, tuli, lumpuh, dan bisu.
Setelah akad (nikah), Tsabit pun dipersilahkan masuk menemui istrinya. Sewaktu Tsabit hendak masuk kamar pengantin, dia berpikir akan tetap mengucapkan salam walaupun istrinya tuli dan bisu.
Tapi tak disangka, perempuan di hadapannya yang kini resmi menjadi istrinya tersebut menjawab salamnya dengan baik.
Ketika masuk hendak menghampiri istrinya, sekali lagi Tsabit terkejut karena perempuan yang kini menjadi istrinya itu menyambut uluran tangannya.
Tsabit sempat terhentak menyaksikan kenyataan tersebut. Dalam hati Tsabit bertany, katanya istrinya bisu dan buta tetapi kenapa ia dapat menyabutnya.
Perempuan yang kini menjadi istrinya menjelaskan, “Ayahku benar karena aku buta karena tidak pernah melihat segala sesuatu yang diharamkan oleh Allah. Aku tuli karena aku tidak pernah mau mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat rido Allah. Aku bisu karena dalam banyak hal aku hanya menggunakan lidahku untuk menyebut asma Allah. Aku juga dikatakan lumpuh, karena kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang penuh dengan maksiat.”
Mendengar ucapan istrinya, hati Tsabit bahagia tak terkira. Karena kejujurannya, ia dikarunia istri yang jelita lagi salehah.
Akhir cerita, Tsabit bin Ibrahim dikaruniai seorang putra shaleh yang kelak menjadi seorang ulama besar bernama Imam Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit.
Dia (Abu Hanifah) adalah seorang ulama atau imam yang berasal dari Kufah dan hidup pada abad ke-7 M. Sebagai ulama besar, ilmunya menyebar ke seluruh pelosok dunia.
Betapa nikmatnya anugerah dan karunia bagi orang yang jujur. Balasan terindah bukan hanya di dunia tetapi juga di akhirat, yaitu balasan yang Allah janjikan dan sangat diidam-idamkan seluruh umat ialah balasan Jannah.
Demikian sahabat muslim, semoga kita tergolong orang yang jujur yang kelak diistimewakan di surganya Allah.
Wallahua’lam.
Sumber: islami.co
Loading...
Tag :
Informasi